Minggu, 30 Oktober 2011

Dompet

Matahari masih berada 35° di ufuk timur, warga Cimenyan sibuk dengan aktifitasnya masing-masing. Begitupun dengan sebuah rumah kecil bercat putih kusam dan pudar, di depannya seorang ibu berumur 50 tahunan yang tengah menyiapkan dagangan di gerobaknya berteriak nyaring “Siti, kalau setiap hari begini, mana bisa kamu pintar di sekolah” teriak ibu itu sambil terus mengelap gerobaknya.
“Siti telat mak, hari ini Siti bekal saja sarapannya” setelah pamit dengan ibunya, Siti dengan setengah berlari menyusuri jalan gang sempit yang menghubungkan rumahnya dengan jalan raya, sesekali dia mengangkat rok abunya dengan tangan kirinya demi mempercepat langkahnya, sementara tangan kanannya mendekap dua buku setebal 10cm.
“ahh.. bisa ketinggalan bus lagi nih” gumam siti di tengah nafasnya yang terengah-engah.
Gubrak.. Siti tersandung batu. Nyaris saja badannya jatuh tengkurap, buku-buku di tangannya pun terlempar ke depan, seorang pria bertubuh tinggi, besar, berkulit sawo matang berusia sekitar 22 tahun membantunya berdiri dan mengambilkan buku-bukunya. “makasih mas..” ucap siti setelah mengibaskan kedua tangannya untuk membersihkan roknya. Pria itu menjulurkan buku-bukunya Siti, dengan sedikit mengamati wajah pria itu, Siti mengambil kedua bukunya dan bergegas pergi setelah mengucapkan terimakasih yang kedua kalinya.
Bus umum yang melewati sekolah Siti pun tiba seiring dengan langkah terakhir siti dari gang rumahnya ke depan jalan raya. Dengan cepat siti menaiki anak tangga pintu belakang bus dan memilih bangku pojok kanan paling belakang untuk didudukinya. Sambil menyandsarkan bahu pada jok, siti mengamati jalan dari jendela bus yang sedikit pecah. Perjalanan menuju sekolahnya dengan bis itu kira-kira sepuluh menit jika jalanan tidak macet, dan sepertinya hari ini jalanan cukup renggang. Sambil mengetuk besi panjang dalam bus dengan uang koin Kondektur bus menghampiri penumpang satu persatu, Siti pun merogoh saku roknya, mencari dompetnya, “dompetnya.. dompetnya mana?!” ucapnya pelan dengan nada gelisah. Siti berdiri dan berusaha merogoh saku roknya lebih dalam lagi,namun nihil, dompetnya tetap tak ada. Dicarinya dalam tasnya, satu persatu risleting tasnya dia buka tapi tetap saja dompetnya tak ditemukan.
Tibalah sang Kondektur di depan Siti, “ongkosnya nak” ucapnya pada Siti.
“eumm, anu Bang, dompet saya hilang, semua uang saya disana, saya gak punya uang lagi” ucap Siti dengan sesekali menundukan kepalanya.
“lantas?” timbal sang Kondektur itu.
“saya tak bisa bayar Bang”
“lah.. macam mana pula kau ini, kau pikir ini bus milik bapakmu? Seenaknya saja kau bicara. Jangan banyak cakap lah kau, sudah banyak sekali penumpang yang enggan membayar menggunakan alasan seperti kau. Jangan berusaha menipu lah kau”
“sumpah Bang, kalaupun ada uang sepeser di saku saya, saya kasih itu uang buat Abang”
“aah.. banyak cakap kau anak muda. Kalau kau tidak bisa bayar, maka turun saja kau disini”
Siti menolehkan pandangan, tak disadari seluruh penumpang bus menatap ke arahnya, malu sekali rasanya perasaan Siti sekarang, lalu dia melempar pandangan ke arah luar jendela kaca bus dan kembali bicara.
“tapi sekolah saya masih jauh Bang, tega sekali kalau saya diturunkan disini” timpal siti dengan penuh harapan Abang Kondektur akan iba dengannya.
“ya itu resiko kau, kalau tak bisa bayar ya turunlah kau disini”
“tak usah kasar pada anak gadis” ucap seorang pria di belakang Kondektur yang mengagetkanku dan Kondektur itu.
“siapa kau? Kau pacarnya? Bayarlah jika memang kau kenal gadis ini” ucap Kondektur itu dengan masih sinisnya.
Pria itu mengeluarkan enam buah uang pecahan seribu kertas pada Kondektur bis ini. Dia pun menyerahkan dompet hitam pada Siti, “punyamu kan? Tadi jatuh” ucapnya pada Siti. Siti yang masih tercengang karena menyadari bahwa pria itu adalah pria yang tadi membantunya saat dia jatuh di gang. Belum sempat Siti mengucapkan terimakasih yang ketiga kalinya pria itu sudah turun dari bus ini.
“beruntunglah kau ada teman kau di bus ini” ucap Kondektur itu sambil berlalu.
Siti kini mengarahkan pandangannya pada penumpang-penumpang bus yang sejak tadi melihatnya. Dengan sigap mereka kembali menatap ke depan.
Tibalah Siti pada sekolahnya, hampir saja pintu gerbang di tutup, kalau saja Siti tak berlari mungkin hari ini dia harus berdiri diluar gerbang hingga jam pelajaran pertama usai.
Siti duduk di bangkunya. Diamatinya keadaan kelas yang masih gaduh, guru pelajaran pertama belum datang sepertinya. Lalu dia mengeluarkan bekal sarapan yang dibuatkan emak tadi, membukanya kemudian menyantapnya. Dia membayangkan wajah Emak di tengah sarapannya, sampai sekarang dia masih bingung kenapa setiap pagi dia dan emak selalu berdebat masalah sarapan. Emak selalu memaksa Siti untuk sarapan terlebih dahulu sebelum berangkat sekolah, tetapi Siti, dia selalu di kejar waktu hingga menomor dua kan sarapan dirumahnya, toh dia bisa beli makanan di kantin pikirnya, lain Siti lain Emak, Emak selalu mengaitkan sarapan dengan kecerdasan intelektual, menurutnya sarapan adalah nutrisi otak yang dengannya kita dapat belajar dengan fokus.
Jam pulang berbunyi, bergegas Siti mengambil tasnya dan keluar dari kelas. Dia berjalan kelur dari gerbang sekolah yang telah dia diami selama 2 tahun ini dan berjalan menyusuri jalan menuju halte bus. Pulang sekolah biasanya Siti membantu Emak berjualan bakso di alun-alun kota. Setelah duduk di halte menunggu bus, dari jarak tiga meter Siti melihat Anton teman sekelasnya sedang berhadapan dengan dua orang pria asing berjaket jins biru dan celana jins yang robek lututnya. Siti terus mengamatinya, “sepertinya Anton dalam bahaya” pikirnya. Kemudian kedua pria berumur kurang lebih 20 tahunan itu mengangkat kerah Anton. Siti pun berlari menghampiri Anton.
“ada apa ini?” “kenapa Anton?” teriak Siti pada mereka.
“tak usah ikut campur kamu” ucap salah seorang pria berjaket jins biru itu.
“kami butuh uang untuk rokok, dan temanmu ini tak ada uang, kau ada uang untuk menebus temanmu ini?” ucap pria satunya lagi.
“tak ada” ucap Siti tegas
“Alah.. itu apa?” Sangkah pria itu sambil menunjuk dompet di saku rok Siti. “sudah, berikan itu pada kami”.
Sempat terjadi saling rebut merebut dompet antara Siti, Anton dan kedua pria itu sebelum datang pria berkulit sawo matang yang membantu Siti berdiri di gang dan menolong siti dari kejamnya kondektur bus di depan mereka berempat.
“lepaskan dompetnya” ujar pria berkulit sawo matang itu setengah menyentak pada kedua pria preman itu.
Setelah melihat wajah pria itu keduanya lari dan melepaskan dompetnya.
Siti terperangah melihat pria itu datang lagi, dengan tangkas dia menarik tangan Anton dan berlari secepat-cepatnya menjauh dari ketiga pria itu.
Setelah jauh berlari, Siti dan Anton berhenti di sebuah tempat di bawah pohon rindang.
“kamu kenapa sih Sit?” Anton bicara dengan nafas yang naik turun tak stabil. Keduanya terlihat sangat kelelahan setelah berlari jauh dari halte. “bukannnya bilang makasih ama kakak itu, malah narik aku lari kesini” “dia udah nolong kita loh” lanjut Anton.
“kamu gak tau, dia lebih nakutin dari dua preman tadi” kata Siti.
“Apanya? Jelas-jelas kita tertolong. Udah aku balik lagi ke halte, aku mau bilang makasih ama dia, kali aja dia masih disana” Anton berdiri mengambil tasnya dan memikulkannya pada bahu sebelah kanannya.
“jangan Ton, dia penguntit. Dia ngikutin aku dari tadi pagi. Percaya deh”
“hah? Maksudnya?”
“iya, tadi pagi aku jatuh di gang waktu mau berangkat sekolah, dan dia tiba tiba ada di depan aku, ngebantuin aku berdiri dan ngambil buku aku yang jatuh. Terus, pas di bus, dompet aku ini tiba-tiba raib, hampir di turunin lah aku sama kondektur busnya, dan kemudian dia dateng lagi ngebayarin ongkos aku dan ngasih dompet aku ini. Yang bikin aku kaget dan takut, dia tiba ada lagi tadi. Kalau bukan mata matain aku, apa namanya?”
“berarti kamu tertolong empat kali dong. Harusnya kamu bilang makasih tadi karena dia selalu datang di saat yang tepat”
“kamu ga ngerti ya Nton? Bukan di saat yang tepat. Tapi ini terlalu tepat. Terlalu aneh kalau di bilang kebetulan.”
“itusih kamu kebanyakan nonton sinetron atau cerita misteri. Ini masalahnya norma kesopanan Sit”
“terserah deh Nton, pokoknya kalau balik lagi aku gak mau ikut.”
“tapi tadi dia napak tanah kan?” Anton menatap wajah Siti kemudian tertawa terbahak-bahak. “lagian ya Sit, siapa juga yang mau nyulik kamu. Kamu bukan anak pejabat, bukan siapa-siapa” Dia tertawa lagi lebih keras.
“gak lucu” jawab Siti ketus.
“hahaha, yaudah aku anterin kamu pulang ya, sebagai balas budi tadi kamu nolongin aku”
Mereka pun beranjak dari tempat itu. Berjalan keluar dari sebuah komplek perumahan asing dan mencari angkutan menuju rumah Siti. Namun, saat di perjalanan mereka brtem lagi dengan pria tinggi, besar, berkulit sawo matang itu.
“eh, Abang yang tadi nolongin kita ya?” Anton girang bertemu dengan orang yang ingin sekali dia berterima kasih padanya. Sedangkan Siti, dia bersembunyi di balik punggung anton.
“Iya dek, kenapa lari tadi?”
“eumm, anu Bang..” Anton ingin sekali bicara kalau dia tadi lari karena di tarik Siti, lalu bicara pada laki-laki di depannya tentang ketakutan Siti. Tapi dari belakang Siti mencubit pinggang Anton agar dia tak bicara.
“Hai cewek yang di belakang Anton, namamu Siti kan? Kenapa kelihatan takut? Hahaha, aku ini teman abangmu dek. Jadi tak perlu takut”
“tapi....” Siti mulai bicara. Namun pria itu mendahuluinya.
“Namaku Doni, waktu papasan di gang tadi, aku hendak menemui kakakmu, tenyata ketemu adeknya jatuh. Mungkin kamu gak hafal wajah saya, karena memang terakhir liat kamu itu waktu kamu SMP. Setelah liat kartu nama di dompet kamu yang jatuh, aku baru yakin kalau kamu Siti, adiknya Budi. Sebelum kamu jauh aku ngikutin kamu naik bis, Cuma kamunya aja dek yang ga sadar. Hahaha, di bus aku malah liat drama kondektur vs penumpang di bus, karena kasihan adik kecil ini dimarahin kondektur, aku kembalikan saja dompetmu.” Mas Doni tertawa di lanjut dengan tawa lepasnya anton.
“tapi kenapa bisa kebetulan lagi ketemu di halte?” ucap Siti.
“ya itu karena rumahku di komplek ini, dekat dengan halte itu. Mungkin tadi hanya kebetulan” jawab Mas Doni.
“mas hebat sekali preman itu takut sama mas” kata Anton “oh iya makasih loh tadi udah nolongin kita”
“hahaha, iya sama-sama, kalau dua orang tadi aku udah kenal. Dari dulu emang mereka seperti itu, hanya berani pada orang baru, makanya kalau di palak lagi, bilang aja kenal sama mas Doni gitu.” Mas Doni tertawa singkat dan melanjutkan pembicaraannya “kalian mau pada kemana sekarang?”
“kami mau pulang mas” Siti mulai berani bicara.
“oh ya sudah, salam untuk mas Budi ya dek.”
Mereka bertiga pun berpisah. Dan hilang kecurigaan dari siti tentang Doni.