Minggu, 30 Oktober 2011

Dompet

Matahari masih berada 35° di ufuk timur, warga Cimenyan sibuk dengan aktifitasnya masing-masing. Begitupun dengan sebuah rumah kecil bercat putih kusam dan pudar, di depannya seorang ibu berumur 50 tahunan yang tengah menyiapkan dagangan di gerobaknya berteriak nyaring “Siti, kalau setiap hari begini, mana bisa kamu pintar di sekolah” teriak ibu itu sambil terus mengelap gerobaknya.
“Siti telat mak, hari ini Siti bekal saja sarapannya” setelah pamit dengan ibunya, Siti dengan setengah berlari menyusuri jalan gang sempit yang menghubungkan rumahnya dengan jalan raya, sesekali dia mengangkat rok abunya dengan tangan kirinya demi mempercepat langkahnya, sementara tangan kanannya mendekap dua buku setebal 10cm.
“ahh.. bisa ketinggalan bus lagi nih” gumam siti di tengah nafasnya yang terengah-engah.
Gubrak.. Siti tersandung batu. Nyaris saja badannya jatuh tengkurap, buku-buku di tangannya pun terlempar ke depan, seorang pria bertubuh tinggi, besar, berkulit sawo matang berusia sekitar 22 tahun membantunya berdiri dan mengambilkan buku-bukunya. “makasih mas..” ucap siti setelah mengibaskan kedua tangannya untuk membersihkan roknya. Pria itu menjulurkan buku-bukunya Siti, dengan sedikit mengamati wajah pria itu, Siti mengambil kedua bukunya dan bergegas pergi setelah mengucapkan terimakasih yang kedua kalinya.
Bus umum yang melewati sekolah Siti pun tiba seiring dengan langkah terakhir siti dari gang rumahnya ke depan jalan raya. Dengan cepat siti menaiki anak tangga pintu belakang bus dan memilih bangku pojok kanan paling belakang untuk didudukinya. Sambil menyandsarkan bahu pada jok, siti mengamati jalan dari jendela bus yang sedikit pecah. Perjalanan menuju sekolahnya dengan bis itu kira-kira sepuluh menit jika jalanan tidak macet, dan sepertinya hari ini jalanan cukup renggang. Sambil mengetuk besi panjang dalam bus dengan uang koin Kondektur bus menghampiri penumpang satu persatu, Siti pun merogoh saku roknya, mencari dompetnya, “dompetnya.. dompetnya mana?!” ucapnya pelan dengan nada gelisah. Siti berdiri dan berusaha merogoh saku roknya lebih dalam lagi,namun nihil, dompetnya tetap tak ada. Dicarinya dalam tasnya, satu persatu risleting tasnya dia buka tapi tetap saja dompetnya tak ditemukan.
Tibalah sang Kondektur di depan Siti, “ongkosnya nak” ucapnya pada Siti.
“eumm, anu Bang, dompet saya hilang, semua uang saya disana, saya gak punya uang lagi” ucap Siti dengan sesekali menundukan kepalanya.
“lantas?” timbal sang Kondektur itu.
“saya tak bisa bayar Bang”
“lah.. macam mana pula kau ini, kau pikir ini bus milik bapakmu? Seenaknya saja kau bicara. Jangan banyak cakap lah kau, sudah banyak sekali penumpang yang enggan membayar menggunakan alasan seperti kau. Jangan berusaha menipu lah kau”
“sumpah Bang, kalaupun ada uang sepeser di saku saya, saya kasih itu uang buat Abang”
“aah.. banyak cakap kau anak muda. Kalau kau tidak bisa bayar, maka turun saja kau disini”
Siti menolehkan pandangan, tak disadari seluruh penumpang bus menatap ke arahnya, malu sekali rasanya perasaan Siti sekarang, lalu dia melempar pandangan ke arah luar jendela kaca bus dan kembali bicara.
“tapi sekolah saya masih jauh Bang, tega sekali kalau saya diturunkan disini” timpal siti dengan penuh harapan Abang Kondektur akan iba dengannya.
“ya itu resiko kau, kalau tak bisa bayar ya turunlah kau disini”
“tak usah kasar pada anak gadis” ucap seorang pria di belakang Kondektur yang mengagetkanku dan Kondektur itu.
“siapa kau? Kau pacarnya? Bayarlah jika memang kau kenal gadis ini” ucap Kondektur itu dengan masih sinisnya.
Pria itu mengeluarkan enam buah uang pecahan seribu kertas pada Kondektur bis ini. Dia pun menyerahkan dompet hitam pada Siti, “punyamu kan? Tadi jatuh” ucapnya pada Siti. Siti yang masih tercengang karena menyadari bahwa pria itu adalah pria yang tadi membantunya saat dia jatuh di gang. Belum sempat Siti mengucapkan terimakasih yang ketiga kalinya pria itu sudah turun dari bus ini.
“beruntunglah kau ada teman kau di bus ini” ucap Kondektur itu sambil berlalu.
Siti kini mengarahkan pandangannya pada penumpang-penumpang bus yang sejak tadi melihatnya. Dengan sigap mereka kembali menatap ke depan.
Tibalah Siti pada sekolahnya, hampir saja pintu gerbang di tutup, kalau saja Siti tak berlari mungkin hari ini dia harus berdiri diluar gerbang hingga jam pelajaran pertama usai.
Siti duduk di bangkunya. Diamatinya keadaan kelas yang masih gaduh, guru pelajaran pertama belum datang sepertinya. Lalu dia mengeluarkan bekal sarapan yang dibuatkan emak tadi, membukanya kemudian menyantapnya. Dia membayangkan wajah Emak di tengah sarapannya, sampai sekarang dia masih bingung kenapa setiap pagi dia dan emak selalu berdebat masalah sarapan. Emak selalu memaksa Siti untuk sarapan terlebih dahulu sebelum berangkat sekolah, tetapi Siti, dia selalu di kejar waktu hingga menomor dua kan sarapan dirumahnya, toh dia bisa beli makanan di kantin pikirnya, lain Siti lain Emak, Emak selalu mengaitkan sarapan dengan kecerdasan intelektual, menurutnya sarapan adalah nutrisi otak yang dengannya kita dapat belajar dengan fokus.
Jam pulang berbunyi, bergegas Siti mengambil tasnya dan keluar dari kelas. Dia berjalan kelur dari gerbang sekolah yang telah dia diami selama 2 tahun ini dan berjalan menyusuri jalan menuju halte bus. Pulang sekolah biasanya Siti membantu Emak berjualan bakso di alun-alun kota. Setelah duduk di halte menunggu bus, dari jarak tiga meter Siti melihat Anton teman sekelasnya sedang berhadapan dengan dua orang pria asing berjaket jins biru dan celana jins yang robek lututnya. Siti terus mengamatinya, “sepertinya Anton dalam bahaya” pikirnya. Kemudian kedua pria berumur kurang lebih 20 tahunan itu mengangkat kerah Anton. Siti pun berlari menghampiri Anton.
“ada apa ini?” “kenapa Anton?” teriak Siti pada mereka.
“tak usah ikut campur kamu” ucap salah seorang pria berjaket jins biru itu.
“kami butuh uang untuk rokok, dan temanmu ini tak ada uang, kau ada uang untuk menebus temanmu ini?” ucap pria satunya lagi.
“tak ada” ucap Siti tegas
“Alah.. itu apa?” Sangkah pria itu sambil menunjuk dompet di saku rok Siti. “sudah, berikan itu pada kami”.
Sempat terjadi saling rebut merebut dompet antara Siti, Anton dan kedua pria itu sebelum datang pria berkulit sawo matang yang membantu Siti berdiri di gang dan menolong siti dari kejamnya kondektur bus di depan mereka berempat.
“lepaskan dompetnya” ujar pria berkulit sawo matang itu setengah menyentak pada kedua pria preman itu.
Setelah melihat wajah pria itu keduanya lari dan melepaskan dompetnya.
Siti terperangah melihat pria itu datang lagi, dengan tangkas dia menarik tangan Anton dan berlari secepat-cepatnya menjauh dari ketiga pria itu.
Setelah jauh berlari, Siti dan Anton berhenti di sebuah tempat di bawah pohon rindang.
“kamu kenapa sih Sit?” Anton bicara dengan nafas yang naik turun tak stabil. Keduanya terlihat sangat kelelahan setelah berlari jauh dari halte. “bukannnya bilang makasih ama kakak itu, malah narik aku lari kesini” “dia udah nolong kita loh” lanjut Anton.
“kamu gak tau, dia lebih nakutin dari dua preman tadi” kata Siti.
“Apanya? Jelas-jelas kita tertolong. Udah aku balik lagi ke halte, aku mau bilang makasih ama dia, kali aja dia masih disana” Anton berdiri mengambil tasnya dan memikulkannya pada bahu sebelah kanannya.
“jangan Ton, dia penguntit. Dia ngikutin aku dari tadi pagi. Percaya deh”
“hah? Maksudnya?”
“iya, tadi pagi aku jatuh di gang waktu mau berangkat sekolah, dan dia tiba tiba ada di depan aku, ngebantuin aku berdiri dan ngambil buku aku yang jatuh. Terus, pas di bus, dompet aku ini tiba-tiba raib, hampir di turunin lah aku sama kondektur busnya, dan kemudian dia dateng lagi ngebayarin ongkos aku dan ngasih dompet aku ini. Yang bikin aku kaget dan takut, dia tiba ada lagi tadi. Kalau bukan mata matain aku, apa namanya?”
“berarti kamu tertolong empat kali dong. Harusnya kamu bilang makasih tadi karena dia selalu datang di saat yang tepat”
“kamu ga ngerti ya Nton? Bukan di saat yang tepat. Tapi ini terlalu tepat. Terlalu aneh kalau di bilang kebetulan.”
“itusih kamu kebanyakan nonton sinetron atau cerita misteri. Ini masalahnya norma kesopanan Sit”
“terserah deh Nton, pokoknya kalau balik lagi aku gak mau ikut.”
“tapi tadi dia napak tanah kan?” Anton menatap wajah Siti kemudian tertawa terbahak-bahak. “lagian ya Sit, siapa juga yang mau nyulik kamu. Kamu bukan anak pejabat, bukan siapa-siapa” Dia tertawa lagi lebih keras.
“gak lucu” jawab Siti ketus.
“hahaha, yaudah aku anterin kamu pulang ya, sebagai balas budi tadi kamu nolongin aku”
Mereka pun beranjak dari tempat itu. Berjalan keluar dari sebuah komplek perumahan asing dan mencari angkutan menuju rumah Siti. Namun, saat di perjalanan mereka brtem lagi dengan pria tinggi, besar, berkulit sawo matang itu.
“eh, Abang yang tadi nolongin kita ya?” Anton girang bertemu dengan orang yang ingin sekali dia berterima kasih padanya. Sedangkan Siti, dia bersembunyi di balik punggung anton.
“Iya dek, kenapa lari tadi?”
“eumm, anu Bang..” Anton ingin sekali bicara kalau dia tadi lari karena di tarik Siti, lalu bicara pada laki-laki di depannya tentang ketakutan Siti. Tapi dari belakang Siti mencubit pinggang Anton agar dia tak bicara.
“Hai cewek yang di belakang Anton, namamu Siti kan? Kenapa kelihatan takut? Hahaha, aku ini teman abangmu dek. Jadi tak perlu takut”
“tapi....” Siti mulai bicara. Namun pria itu mendahuluinya.
“Namaku Doni, waktu papasan di gang tadi, aku hendak menemui kakakmu, tenyata ketemu adeknya jatuh. Mungkin kamu gak hafal wajah saya, karena memang terakhir liat kamu itu waktu kamu SMP. Setelah liat kartu nama di dompet kamu yang jatuh, aku baru yakin kalau kamu Siti, adiknya Budi. Sebelum kamu jauh aku ngikutin kamu naik bis, Cuma kamunya aja dek yang ga sadar. Hahaha, di bus aku malah liat drama kondektur vs penumpang di bus, karena kasihan adik kecil ini dimarahin kondektur, aku kembalikan saja dompetmu.” Mas Doni tertawa di lanjut dengan tawa lepasnya anton.
“tapi kenapa bisa kebetulan lagi ketemu di halte?” ucap Siti.
“ya itu karena rumahku di komplek ini, dekat dengan halte itu. Mungkin tadi hanya kebetulan” jawab Mas Doni.
“mas hebat sekali preman itu takut sama mas” kata Anton “oh iya makasih loh tadi udah nolongin kita”
“hahaha, iya sama-sama, kalau dua orang tadi aku udah kenal. Dari dulu emang mereka seperti itu, hanya berani pada orang baru, makanya kalau di palak lagi, bilang aja kenal sama mas Doni gitu.” Mas Doni tertawa singkat dan melanjutkan pembicaraannya “kalian mau pada kemana sekarang?”
“kami mau pulang mas” Siti mulai berani bicara.
“oh ya sudah, salam untuk mas Budi ya dek.”
Mereka bertiga pun berpisah. Dan hilang kecurigaan dari siti tentang Doni.

Minggu, 13 Februari 2011

untitled

penat ku disini
terkurung mati mata hati
aku tak pernah bisa melihat
angkuhmu .. bekumu ..
kau dera aku dengan seribu pisau
namun jantungku tak berhenti berdetak
kau injak aku dengan kata
namun tak berhenti ku mengagumi
letih ..
bertahun menanti bersama asa
tak jua sejukan gersangmu
dan ketulusan ..
tak jua luluhkan kerasmu
mati rasa kah kau?
ataukah aku yang terlalu naif?
namun apa daya
kau tak pernah mati dalam hati
tak pernah berhenti berlari dalam nurani
dan aku tak bisa untuk berhenti ..

Senin, 02 Agustus 2010

about love

cinta ..
mengapakau tak kunjung menyapaku?
setelah sekian lama ku menanti
setelah setiap hari ku menunggu
cinta ..
penat ku disini tanpa hadirmu
terasa sepi, sunyi, mati
cinta ..
ku harap kau segera datang
dengan sepenuh hati
karena ku benci jika cinta tak harus memiliki

Minggu, 01 Agustus 2010

cerpen 2


ANTARA AKU, KAU DAN SKIZOFRENIA

S
iang itu aku masih menikmati es cendol di kantin sekolahku tersayang. Aku sendiri, sahabat-sahabatku sudah pulang duluan karena tak sabar menunggu. Yah, maklum, Pak Abet supir kesayangan ayah yang sudah bekerja dirumahku 19 tahun lebih sudah menuju manula. Dia terkadang suka lupa, atau ketiduran pada waktu menjemputku.
15 menit menunggu, masih ku nikmati cendol terenak ini, aku melihat sekeliling, sekolah sudah sepi, hanya beberapa anak saja yang baru keluar menuju parkiran. Kemudian mataku terarah pada sosok ayah dan anak yang berada di gerbang sekolah, aku berusaha mengamati siapa anak laki-laki itu, tak pernah ku lihat sebelumnya di sini, mungkin anak baru fikirku.
Paginya …
Suasana gaduh seperti biasa terjadi di kelasku, aktifitas rutin yang sering terjadi di pagi hari. Hari ini minggu terakhir di bulan agustus, biasnya ada bimbingan dari wali kelas atau BK. Kami menunggu kedatangan salah satunya sambil berbincang, bergosip atau apapun itu demi menghilangkan rasa jenuh atau sekedar bersosialisasi
“Tok.. tok.. tok”
pintu terketuk ringan, lantas kami semua menengok kea rah pintu, ternyata bu Gita wali kelas kami, membawa seseorang laki-laki .. ya seorang anak laki-laki yang kemarin aku lihat bersama ayahnya
“ Pagi anak-anak “
“ Pagiiiii buuuu … “
“ Hari ini kalian akan punya teman baru, Namanya Reza, pindahan dari SMAN 58. Ya Reza, silahkan perkenalkan dirimu “
Anak itu terdiam, tertunduk, mengamati seluruh ruangan, kemudian tertunduk lagi, entah apa yang dia fikirkan, namun kemudian dia mulai memperkenalkan dirinya.
“ Saya Reza, Reza Andrea Suherman, saya pindahan dari SMAN 58. Salam kenal .. “
“Nah Reza, kamu boleh duduk sekarang “
Reza pun bejalan memilih bangku yang akan di tempatinya, kemudian dia duduk di pojok belakang kiri kelas. Dia duduk, meletakan tas bodypack nya, dan kembali menunduk lagi, kali ini matanya begitu kosong, sesaat kemudian di keluarkannya buku, peralatan sekolahnya, dan sebuah mp4 lengkap dengan headset yang ia letakan di depannya. Tampaknya dia seorang penikmat musik, pikirku.
Bel istirahat berbunyi …
“ Ra, ke kantin yuu .. “ ajak sahabat-sahabatku
“ Gak ah, aku masih pengen disini, hhmm.. lagian aku udah sarapan tadi pagi “
“ Yaah.. Zahra.. Yaudah, kita duluan yaa ! “
Selepas mereka pergi, ku amati kembali Reza itu, dia masih terhanyut dalam musik playernya. Kemudian aku mencoba menghampirinya, hanya sekedar menyapa mungkin.
“ Hai Reza “
Dia mengadah ke arahku, kemudian diam.
“ hm.. pindahan dari 58 ya? “ aku mecoba mencairkan suasana
“iya” jawabnya ketus
“ Ooh .. kenapa pindah? “
Dia acuh tak acuh kembali, menyandarkan kepalanya di tembok, kemudian kembali dalam dunianya sendiri. Tanpa menghiraukanku.
Bel masuk berbunyi, kali ini pelajaran bahasa, Pak Dodi guru mata pelajaranku mengusulkan pembagian kelompok untuk berdiskusi, namun sayangnya aku terpisah dari sahabat-sahabat centilku dan Reza, namun mereka sekelompok dengan Reza, yah setidaknya aku dapat sedikit info tentang reza dari mereka. Entahlah sejak pertemuan pertama kali dengan Reza, ada yang beda dalam hatiku.
2 jam berlalu, Bel pulang berbunyi. Setelah semua berdoa, kemudian kamipun berhamburan keluar.
“ Zahra .. ! “ panggil Nia, sahabat karibku
“ Apa? Heh.. tadi gimana sekelompok ama anak baru itu? Gimana orangnya? Asik ya? “
“ Hah asik? Asik dari hongkong! Sumpah ya Ra, dia juteknya ga’ ketulungan, aku heran, sebenernya dia pendiem, atau jutek ya?”
“ Wah.. masa sih? “ aku berusaha meyakinkan
“ Kalo ga percaya Tanya tuh Meli, dia tuh freak, nunduk terus, atau mungkin ngelamun, kaya yang takut gimana gitu, akh.. pokoknya tipe orang yang sukar bersosialisasi deh”
Aku hanya mengangguk, kemudian pamit untuk pulang duluan. Hari ini aku gak lagi di anter jemput  pak  Abet, ayah sudah mengizinkanku untuk bawa kendaraan pribadi. Cuaca begitu mendung, sepertinya akan hujan deras, segera ku keluarkan miosporty ku dari parkiran sekolah, kemudian melaju kencang, berharap tak akan kehujanan.
Di halte, seorang berdiri terpaku sendiri, itu Reza, masih dengan hadset mp4 yang menggantung di telinganya. Akupun mencoba menyapanya, mungkin dia mau pulang bareng.
“ Hai Rez, sendirian? “
Dia menoleh pada ku yang masih menaiki mioku
” Iya, gue nunggu jemputan “
“ Ooh.. belum datang ya? bareng aku aja, bentar lagi hujan lho.. “
Dia tak menghiraukanku, tapi aku berusaha membujuknya
“ Daripada kamu naik bis, kehujanan, basah kuyup, mau? “
Lalu tanpa bicara dia langsung naik di belakangku, tak ku sangka dia menerima tawaranku, entah kenapa, namun aku bahagia sekali. Namun petir mulai menyambar, dan hujan deraspun turun, segera ku parkirkan motorku di depan warung “SEJATI” aku dan Rezapun berteduh di dalamnya. Kami memesan makanan dan secangkir teh manis hangat, sambil menunggu hujan reda, aku pun berusaha menanyakan banyak hal ke Reza tentang dirinya, seperti biasa, kadang dia acuh tak acuh kepadaku. Namun biarlah dengan sedekat ini dengan dia pun aku sangat menikmatinya. Kamipun tenggelam dalam bakso dan teh manis hangat , selesai makan aku mengamatinya kembali, mengaduk-aduk teh manisku, dan kemudian tanganku menjabat mp4 miliknya, ku buka folder  faf.music di playernya, tapi kemudian Reza sadar dan merebutnya dariku.
“ Ngapain sih? “
“ Cuma liat-liat doank kok Za, kamu suka lagu-lagu mellow ya? Sama donk! “
“ Iya, gue agak tenang kalo ngedengerinnya, serasa semua yang gue rasain tercurah dalam lagu-lagu itu”
Akupun terdiam, berusaha mencermati apa yang di katakannya, ternyata pria sejutek dia hatinya sensitif juga. Tunggu dulu, atau jangan-jangan dia …..
“ Udah yu kita pulang, dah reda tuh hujannya” dia menarik tanganku, keluar meninggalkan warung itu.
“ Udahlah, sampai sini aja, rumah gue udah deket “ Reza turun dari motorku  “Thanks yaa“ lanjutnya.
“ oke sama-sama, salam ke keluarga lo ”
Belum sempat aku memutar arah motorku, seorang pria dewasa bertubuh tegap berumur 30an menyambut kedatangan Reza yang dari tadi tetap ku amati. Samar-samar ku lihat mereka berbincang, namun bukan dalam hal yang menyenangkan sepertinya, Reza berusaha menghindar, tapi pria itu menghalangi langkahnya masuk gerbang tinggi perumahan mewah itu, mereka terdiam sejenak, kemudian Reza ditamparnya! Aku sangat terkejut melihat kejadian itu, segera ku berlari menghampiri Reza, namun pria bertubuh tegap itu pergi dengan tenangnya dengan mobil limousinnya.
“ Za, lo gapapa kan? “ aku berusaha membantunya berdiri, tapi dia berlari ke dalam tak menghiraukanku.
“ Za, lo kenapa siiih… “ isakku dalam hati
Esoknya ..
Aku melihat Reza di depan kelas, aku berlari menghampirinya
“ Za, kemarin siapa? “
Dia berjalan cepat menuju kelas, tetap acuh tak acuh.
“ Za, tangan lo kenapa? Bekas kemarin ya? “ aku coba menjabat tangan kirinya yang bengkak, tapi di luar dugaan, Reza mendorongku hingga jatuh, entah sengaja atau tidak, seisi kelas melihatku iba dan memandang benci pada Reza, Reza tampak bingung, namun dia tak menolongku, malah berlari menuju bangkunya.
Doni, ketua kelas berdiri berusaha membantuku bediri
“ lo gapapa kan Ra? “ dia menjabat tanganku
“ gapapa ko Don, thanks yaa”
Kemudian Doni menghampiri Reza, melabrak mejanya
“ Heh ! Anak baru ! bisa sopan ga sih lo ke cewek? “
“ Udah Don, bukan salah dia” aku berusaha meyakinkan Doni
Kemudian suasanapun mencair sendirinya
Pulangnya
“ Ra, sorry ya tadi pagi, gue refleks”
“ gapapa ko Za, gue ngerti, tapi kalau boleh tahu siapa pria itu? Ga punya hati sekali dia memperlakukan lo kaya gitu ”
“ Lo ikut gue, kita ke tempat yang kemarin”
Sesampainya
“ Gue berada di lingkungan yang hancur, temen-temen gue dulu, bokap gue, dan kemarin itu kakak gue, dia pengedar narkoba, dan parahnya, temen-temen deket gue pada make dari dia, bokap gue sering maenin cewe, Cuma nyokap gue Ra yang bisa gue andelin. Tapi beliau udah ga ada, meninggal karena penyakit jantungnya, atau mungkin ga kuat ngurusin keluarga gue yang hancur, dan saat itu juga gue merasa takut untuk menghadapi dunia, udah terlalu hancur buat gue, gue ga punya siapa-siapa, dan endingnya gue tahu kalo gue sakit, ini penyakit bawaan. Gue Skizofrenia”
Aku udah tak bisa berucap apa-apa lagi, campur aduk perasaanku, sakit banget mendengar kisah hidup Reza, pengen rasanya menenangkannya, mendekapnya, menghapus air matanya, atau jika saja aku bisa menghapus sedikit luka yang dia rasa.
“ waktu lo masuk di kehidupan gue, gue takut kalo lo sama, gue takut .. “ ucap Reza meruntuhkan hatiku
Seketika semakin terkoyak perasaanku, hingga tak terasa kristal-kristal putih terjatuh lembut di pipiku. Ingin rasanya berucap bahwa aku sudah mengira semua, tapi aku tak peduli, aku tak peduli dia bagaimanapun, aku tetap sayang, tetap mengagumi dia apapun adanya. Tapi bibirku kelu, tak kuasa berucap. Hanya air mata yang bisa mewakili semua perasaanku.
“  Aku gak peduli Za, aku tulus ” hanya itu yang bisa ku ucapkan dengan nafas yang tetahan isak tangis ”
Sejak penjelasan itu kita semakin dekat, kita semakin menyadari akan perasaan masing-masing. Meski hanya saling mengungkapkan dalam hati, meski mungkin tak ada yang mengerti. Termasuk sahabat-sahabatku, mereka agak menentang kedekatanku dengan Reza, alasannya karena Reza menurut mereka aneh. Tapi aku sama sekali tak peduli, cinta telah membutakan mataku.
“ Hey, kamu suka nulis ya? “ tak sengaja aku menemukan binder bersampul emo di dalam tasnya. “ Tulisanmu bagus, menyentuh, penuh warna ” lanjutku setelah sedikit membacanya.
“ Itu salah satu dunia gue Ra” kemudian dia diam, terpaku lama sekali

2 minggu kemudian
Reza tidak hadir di sekolah, tak ada kabar apapun dari dia, HPnya pun tak bisa di hubungi sejak semalam, aku mulai cemas, aku takut terjadi apa-apa dengan Reza. Akhirnya aku memutuskan sepulang sekolah untuk melihat ke rumahnya, aku tak peduli jika aku harus bertemu kakaknya yang menurutku psycho itu, yang aku peduli hanya keadaan Reza, hanya itu.
Bel pulang berbunyi, aku segera menuju parkiran mengambil motorku dan menuju ke rumah Reza. Sesampainya disana, hanya rumah mewah berkonsep minimalis yang terasa mati yang kudapati, cepat ku tekan bel, mungkin ada seseorang di dalam sana.
Seorang perempuan paruh baya setengah berlari membuka pintu, Reza pernah cerita tentang dia, mengkin dia Bi Inem yang selalu ada setelah mamahnya pergi.
“ Siang non, cari siapa ya? “
“ Bi Inem ya? Aku Zahra, temannya Reza, Rezanya ada? “
“ Ooh, neng Zahra ya, mari masuk neng, Den Reza sering certain eneng loh “
“ hehe, oya bi? Apa aja yang dia certain? Tapi bi, kok tadi dia gak masuk sekolah ya? Dia kenapa bi?”
“ Lho .. Neng Zahra gak tahu? Den Reza kambuh neng, kemarin Den Reza pulang malem, basah kuyup, padahal di luar gak hujan, sampai rumah si aden sesek lagi, menggigil ga jelas neng, bibik sedih banget ngeliatnya, lalu aden lari ke kamarnya, ngeluarin obat banyak banget. Bibik takut, si aden udah kaya mau bunuh diri aja tuh neng, ya, bibik dengan sekuat tenaga nahan Den Reza. Lalu Den Reza pingsan neng, bibik bawa aja ke RS, takut ada apa-apa neng ”
“ Astagfirullah bi, terus bibik tau apa yang nyebabin dia kambuh? “
                “ Waktu sadar aden cerita, kalau dia di kurung teman sekelasnya di kamar mandi, sampai malem, sampai pak penjaga sekolahnya ngedapetin dia lagi bengong gak karuan katanya neng ”
Aku langsung menebak siapa pelakunya, setelah pamit sama bik Inem, aku langsung memutar balikan motorku, menuju sekolah.
Seperti yang aku kira mereka masih di kantin sekolah, tertawa menjijikan tanpa merasa beban apapun. Sepertinya mereka tak sadar akan apa yang di perbuatnya. Langsung ku gebrak bangku tempat mereka duduk, dengan amarah yang memuncak di kepalaku, mungkin juga karena rasa dikhianati.
“ Hey, kalian asik sekali ya? Gak sadar apa dengan apa yang kalian lakuin kemarin ! “
“ Apaan sih Ra, ko datang marah-marah?” goda Doni
“ Ga usah pegang gue! Lo dan kalian semua yang udah gue anggep sahabat tega banget ngelakuin ini ke gue?”
“ Apaan sih Ra, gue gak ngerti” kata Nia
“ Kalian ngapain Reza kemarin? Kalian tau karena perbuatan kotor kalian yang ngurung Reza seharian di wc Reza dirawat ! Asmanya kambuh, dan lebih parahnya dia nyaris bunuh diri karena skizofrenia nya kambuh ! kalian tau, dia sakit! “
“ Ya ampun Ra, gue ga tau kalo dampaknya sejauh ini, sumpah gue kira Doni cuma maen-maen, gue piker Doni Cuma ngancem agar lo balik lagi ke kita, kita ga tau Ra ”
“ Ra, sorry, sumpah gue lupa kalo gue ngurung dia, bener “ sambung Doni
Aku tak menghiraukan mereka, aku langsung menaiki mio ku menuju rumah sakit tempat Reza dirawat.
Sesampainya di sana
“ Za, kamu gapapa? “
“ Eh Ara ku, maaf ya aku gak sempet ngasih kabar, kamu tau dari bi Inem ya? Tadi dia kesini bawain makanan dan cerita kalo tadi lo ke rumah gue ”
“ oya, ada yang gue mau bicarain ke lo “ sambung Reza kemudian “Gue mau sembuh Ra, gue mau terapi, gue mau ngobatin skizofrenia gue, gue mau terapi, bokap gue ngusulin gue ke Singapore, dia punya kenalan psikiater disana, besok gue mau pergi, anter gue ke bandara jam 1 siang  ya. Mungkin sebulan lebih Ra “
“ aku seneng Za, tapi aku ga kuat kalau kamu pergi  jauh “
“ Gue Cuma sebentar ko disana, lo tau apa yang memotivasi gue? Lo Ra! Gue kasihan kalau lo punya cowok yang freak kaya gue”
“ Ga’ Za, gue …. “
“cukup Ra” sanggahnya
Untuk ke dua kalinya hatiku terharu karena Reza, kali ini lebih kuat, aku benar-benar tak mau berpisah untuk saat ini.
Besoknya aku menuju bandara, tak banyak yang dapat ku lakukan saat perpisahan disini, aku hanya memberinya teddy bear  kesayanganku agar dia selalu mengingatku disana. Dan dia, untuk pertama kalinya dia memelukku kemudian dia memberi aku sebuah gelang yang berhiaskan pernik berbentuk hati di tengahnya.
Kemudian dia pergi dengan burung baja itu, aku hanya dapat melepasnya dengan tangis dengan seribu doa agar dia selamat.
Aku terbangun dari tidur siangku, ku lihat jam menunjukan pukul 5 sore, aku lelah setelah pulang dari bandara. Aku turun menuju dapur untuk mengambil minum, seperti biasa, bi Inah menyiapkan makan malam sambil menonton tv. Ku ambil segelas air dingin dari kulkas, ku teguk sampai habis sambil duduk menonton sinetron kesukaan bi Inah, tiba-tiba acara di seling oleh lintas berita, yang mengabarkan bahwa terjadi kecelakaan pesawat Jakarta-singapore penerbangan pukul 13.00 WIB, semua awak pesawat meninggal, hanya beberapa yang selamat tetapi luka berat, dan saat ini media belum bisa mengabarkan siapa saja korban dan orang yang selamat itu.
Gelasku langsung pecah, terlepas dari genggaman eratku, aku syok tak sadar segera mengambil helm dan mio ku menuju bandara. Aku menunggu kabar dari agen penerbangannnya siapa saja yang selamat, sambil terus berdoa Reza selamat. Pukul 12 malam semua data baru terkumpul, aku membaca satu persatu nama korban yang selamat, beratus-ratus kali, tapi nihil, tak ada nama Reza Andrea Suherman disana. Benar-benar tak ada.
Aku putus harapan, tak bisa menangis, mati rasa. Aku terdiam terpaku hingga berjam-jam di bandara hingga setelah jam 03.00 WIB aku baru sadar jika Reza benar-benar sudah tak ada, aku menangis sejadi-jadinya, tanpa menghiraukan keadaanku. Hingga akhirnya semua terasa gelap.
Aku baru tersadar siangnya, aku berada di rumah sakit, di temani ayah, ibu dan bi Inah, dan satu orang pria dewasa bertubuh tegap,di temani 2 orang polisi, ya itu kakaknya Reza, kabarnya dia sudah menyerahkan diri pada polisi.
“ Zahra, saya Aldo, saya hanya ingin menyampaikan amanat adik saya” Dia menyodorkan binder tebal bercover Emo milik Reza, semua  isi fikirannya di curahkan di sini. Dan, semuanya tertulis nama “ZAHRA”
Aku menangis lagi, namun kali ini suatu kepasrahan, aku rela dia pergi, namun nama dan sosok Reza Andrea Suherman  takan musnah dari hati dan fikiranku, seumur hidupku.



Sabtu, 13 Maret 2010

puisi

untuk ikhwan
Wahai ikhwan yang tak tau dimana adanya,
sungguh ku rindu akan hadirmu,
mengisi kekosongan hati yang telah lama beku
wahai ikhwan yang tak tau dimana adanya,
sudikah kau untuk segera menerangi &membimbing jalan ku,
dalam ridhoNya.. dalam ridhoNya..
sungguh ku tak kuasa bila harus terus melangkah sendiri,
bagai kapal yang tak bernahkoda
wahai ikhwan yang entah dimana,
aku rindu meski tak pernah jumpa,
aku rindu meski tak tau kau siapa
sungguh..amat sangat ku berharap kita segera jumpa,
meniti langkah meretas asa bersama
wahai ikhwan yang ku dambakan,
bila nanti kita bersua
ajari aku untuk bersabar dalam coba yang tak henti mendera,
bimbing aku dengan kesholehanmu,
sejukkan jiwaku yang amat gersang,
agar aku bisa bertahan dalam fatamorgana dunia

Minggu, 07 Maret 2010

cerpen

PATAH

Aku berlari kencang dengan air mata yang terurai deras di pipi. Pedih rasanya menerima kenyataan pahit ini. Aku terus berlari tanpa arah, aku tak peduli akan gelapnya malam yang tanpa rembulan, atau dinginnya hari yang begitu menusuk tulangku. Aku benar-benar tak peduli semuanya.

Masih teringat jelas Juni 2008 lalu, awal dari semua kisah. Awal aku bertemu dia, dia pembina ospek 2008 di universitasku, namanya Randy, mahasiswa Sastra Indonesia semester 6. Randy begitu mempesona, cara membimbingnya yang unik, kejeniusan otaknya dan kata-kata motivatornya yang membuat kami termotivasi begitu mempesonakan teman-temanku, termasuk aku. Ya, berawal dari rasa kagum, hingga akhirnya rasa ini ada.

2 bulan sudah kita saling mengenal, dan entah mengapa aku dan kak Randy begitu dekat, kita sering curhat berdua, jalan berdua, atau sekedar menghabiskan malam minggu berdua. Huh.. rasanya begitu ingin kembali ke masa itu. Kita mencoba mengenal satu sama lain, memahami karakter masing-masing, dan mencoba untuk lebih dekat. Hingga kemudian rasa ini hadir dengan perlahan tapi pasti. Aku mulai mengharapnya lebih dari seorang kakak, atau sahabat yang bisa berbagi setiap waktu, aku mulai mencintainya. Mungkin kak Randy tahu tentang perasaanku, karena aku sering memujinya, atau karena mulut sahabat-sahabatku yang tak bisa diam ketika kami berdua, ahh.. apapun itu, setidaknya aku bisa tenang karena kedewasaan kak Randy yang tak menghiraukan mulut-mulut yang begitu usil itu.

Aku dan kak Randy semakin dekat, kak Randy sering mengirimiku puisi-puisinya, begitupula aku. Kak Randy pun sering membuat kejutan-kejutan kecil yang bisa membuatku tersenyum bahagia. Tapi hubungan kita mengalir begitu saja, tanpa sesuatu yang pasti. Sebenarnya aku sakit dengan HTS ini, karena jujur aku takut kak Randy hanya menganggap aku “adiknya”. Namun setidaknya aku bahagia bisa mengenalnya, dekat dengannya, dan tahu banyak tentangnya, walaupun “tanpa status”.

Hingga pada Mei 2009, entah ada angin apa, kak Randy mencurahkan semuanya, termasuk aku. Mungkin karena dia dan aku lelah dengan semua keadaan ini. Entah harus bagaimana aku saat itu, karena satu sisi aku tenang bisa mengungkapkan semua dan tahu isi hatinya, namun sisi lain aku sakit ketika kak Randy mengatakan “biarkan hubungan kita mengalir dengan ketulusan, meskipun tanpa status, biarkan waktu yang membawanya” seketika air mataku mengalir lembut di pipiku. “sekarang terserah kamu, mau bersikap bagaimana sama aku” dia melanjutkan ucapannya. Lalu kamipun terdiam membisu. Dan aku memutuskan untuk tidak berubah sikap.

Hingga kemudian ada sesuatu yang begitu melukaiku, Sesuatu yang begitu ku takutkan terjadi, kak Randy mencintai orang Lain!! Saat itu aku benar-benar hancur, luka hati berdarah lagi. Dia mencintai Fia, wanita berjilbab yang di kenalnyasaat ada seminar di daerahnya, dia mengatakannya padaku. Kenapa?? Kenapa dia harus jujur tentang kenyataan yang menyakitkan itu?? Tapi aku tetap berusaha bertahan dengan rasa ku, aku tetap akan mencintainya, walau aku tahu aku kan terluka, tapi aku tak peduli, bukankah cinta yang tulus itu cinta yang memberi tanpa pamrih?

Hari berganti hari, tapi aku masih tetap mengharapkannya, walaupun kita semakin menjauh, ya... aku pun tahu kenapa. Hingga pada oktober 2009 sesuatu yang begitu menyakitkan kembali lagi, bahkan lebih menyakitkan. Kak Randy mengabarkan bahwa sekarang dia telah jadian dengan Kak Fia…!!! Tuhan…. Mengapa ini harus terjadi??

Dan kini di tengah malam, dinginnya hari, dan derasnya hujan aku di sini… Mencoba menenangkan diri atas semuanya.. mencoba menyembuhkan luka, walau aku tak yakin bisa..